Search this blog


Bermimpilah besar karena Rajamu besar...Anak Kerajaan tidak takut dengan kata orang, tetapi melekatkan hatinya pada Sang Raja...Bukan engkau yang hebat, tetapi Rajamu yang hebat
Photobucket

Jangan Puas dengan Menjadi "Rata-rata"

Eileen Rachman/Sylvina Savitri

Kita sering terjebak dalam rutinitas hidup dan pekerjaan, sehingga apa
yang kita lakukan dan apa yang kita upayakan, kerap tidak sempat kita
evaluasi. Saat mendengar berita kecelakaan pesawat, di mana mungkin
ada teman atau sahabat kita di dalamnya, atau menerima kabar duka yang
memberitakan salah satu sahabat atau kerabat tutup usia, tak jarang
kita shock dan baru merasa punya waktu untuk berhenti sejenak,
mendapatkan insights dan merefleksikan betapa berharganya kehidupan
yang kita jalani.
Kita sesungguhnya sangat sadar bahwa hidup kita memang sudah ada
takarannya dan suatu saat memang akan berhenti. Pertanyaannya,
seberapa sering kita memikirkan pentingnya kualitas hidup yang ingin
kita jalani? Apakah kita sungguh-sungguh menjalani hidup dan pekerjaan
yang meaningful? Apakah kita sempat mengecek bahwa kita tidak sekadar
mengejar karier dan uang, tetapi juga mengisi aspek kehidupan lain,
baik itu emosional, membangun hubungan antar manusia dengan baik,
serta mengembangkan aspek spiritual dalam hidup?
Beberapa teman, bila sedang berdiskusi seputar masalah kualitas
kehidupan, kadang berkomentar: “Kalau sudah sibuk ‘cari makan’ mana
sempat memikirkan kualitas hidup lagi?” Ya, kita semua bisa merasakan
betapa kehidupan makin kompleks, krisis datang silih berganti,
tantangan untuk mencapai target kerja terus ada di depan mata,
sehingga seolah kita tidak punya waktu atau energi untuk melakukan
hal-hal lain yang ingin kita lakukan.
Namun, apakah semua situasi itu akan menghalangi kita bersikeras untuk
menjadi “a better person”? Mungkinkah kita membiarkan diri kita
melepas standar kualitas hidup dan menjalani kehidupan kita dengan
“pasrah” atau biasa-biasa saja? Pada akhirnya, kita akan bertanya pada
diri sendiri: “Apakah sebagai manusia kita sudah berbuat optimal,
mendalam, otentik, dan berenerji? Apakah kita punya kemauan kuat untuk
“jadi  yang terbaik” dalam kehidupan kita yang hanya satu-satunya ini?
Melihat gaya hidup teman atau kerabat yang tutup usia secara
tiba-tiba, kita bisa belajar bahwa hidup memang perlu didesain. Hidup
seperti apa yang ingin kita jalani? Bagaimana kita ingin dikenang oleh
orang saat kita tiada? “Warisan” apa yang ingin kita tinggalkan?
Legenda macam apa yang akan tinggalkan?

Olah pribadi
Kita sering melihat banyak orang mengambil posisi “tengah” alias
posisi “aman”. Mereka tidak berusaha memperjuangkan ide dan
pendapatnya kuat-kuat, namun lebih memilih untuk menyenangkan semua
pihak. Dalam berprestasi, ada orang yang puas dengan menjadi
“rata-rata”, berorientasi pada penilaian pihak eksternal, sehingga
tidak menuntut dirinya untuk selalu mencapai titik terbaik. Padahal,
seorang ahli mengatakan: “Mediocrity isn't a quest to be pursued “.
Kita tidak akan "jadi apa-apa" atau menciptakan apa-apa, bila selalu
berada di posisi “so-so” atau merasa diri “sekadar” pegawai, “sekadar”
manager, atau “sekadar” orang kecil.
Kita tentu kagum bila mendengar ada petani di kampung yang bisa
menyekolahkan anak-anaknya hingga betul-betul sukses. Orang seperti
ini, tidak melihat dirinya “sekadar” petani, namun ia bisa melihat
masa depan sampai ke titik yang paling optimal.
Apapun posisi kita dalam organisasi, kita sesungguhnya punya peran
penting dan perlu bangga dengan peran yang kita jalankan. Seorang
arsitek, planner, desainer, sekretaris, dan trainer, punya peran untuk
menghasilkan ciptaan-ciptaan yang lebih efisien, baik itu ide, buku,
atau sistem yang bisa mempermudah hidup dan pekerjaannya. Menjalankan
peran dengan bangga dan “all out”-lah yang akan menciptakan happiness
dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup kita.
Ada individu yang kerap merasa bahwa ia sudah mengembangkan diri dan
tinggal menjalankan hidup saja. Padahal, pribadi itu ibarat pensil.
Pensil yang baik akan bisa digunakan untuk menulis, namun
sebentar-sebentar perlu diasah. Pensil yang tumpul tidak bisa menulis
dengan baik, dan menjadi usang dan ditinggalkan bila tidak dipertajam.
Kita pun, ibarat pensil, senantiasa perlu belajar mengasah ketrampilan
dalam hubungan sosial, menebalkan keyakinan, dan tidak boleh puas
dengan keadaan yang sudah dicapai. Individu yang mudah merasa puas,
akan cepat menunjukkan sikap dirinya selalu benar, “sok tahu” tanpa
rasa ingin memperbaiki diri.
Sebaliknya, orang yang berorientasi pada kualitas hidup yang lebih
baik, akan berusaha memperbaiki tutur katanya, senantiasa mawas diri
untuk memperbaiki hubungan baik, dan mencari jalan keluar dari
permasalahan yang dihadapi dengan rendah hati tetapi progresif.
Kualitas hidup tidak bisa berhenti pada satu tingkat tertentu, namun
perlu terus diupayakan dari waktu ke waktu, sampai akhir hayat kita.

Good living = good work
Kita tidak akan bisa meningkatkan kualitas hidup tanpa meluangkan
waktu untuk melakukan evaluasi. Saringan evaluasi pertama adalah
mengecek: "Apakah hal yang kita kerjakan ini bisa meninggalkan value
di masa depan?" Saringan kedua adalah menguji: “Apakah apa yang kita
lakukan saat ini sudah optimal kualitasnya dan bisa dites
‘excellence’-nya?” Saringan ketiga adalah memahami: “Apakah hal yang
kita jalani ini memang  berasal dari diri kita dan mengangkat harkat
kita sebagai manusia?”
Bila kita menyaring tindakan kita dengan ketiga saringan tadi, maka
dengan sendirinya integritas yang sekarang didengung-dengungkan orang
pun akan terjaga.
Sebagai manusia yang diberkahi akal budi, sangat terbuka kesempatan
bagi kita untuk mengoptimalkan kualitas diri sebagai mahluk hidup.
Kita tidak perlu mengakhiri hidup ini dengan penyesalan, kalau saja
kita tidak henti-hentinya mendera diri kita untuk selalu lebih baik,
lebih cepat, lebih hemat, lebih berintegritas, dan lebih bermartabat.
Kitalah yang memilih untuk melakukan hal yang benar-benar kita minati.
Kita bisa memilih hobi dan passion kita, sekaligus membuat prioritas.
Kitalah yang menentukannya, bukan orang lain. Seperti yang dikatakan
penyair Antonio Machado: "Walker, there is no path; the path is made
by walking."
Dengan menjalankan good living kita pasti akan melakukan good work juga.

0 komentar:

Posting Komentar